Petani Sawit Punya Kontribusi,Sementara Imbal Balik Minim
Palangka Raya ExposKalteng.com Legislator Kalimantan Tengah Fajar Hariady menganggap kebijakan Kementerian Perdagangan terkait minyak goreng satu harga, tidak atau belum menyentuh persoalan mendasar, karena struktur pasar minyak goreng masih dikuasai segelintir perusahaan besar.
Kebijakan satu harga itu dapat diterapkan karena disubsidi dari pungutan ekspor (PE) yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), kata Fajar di Palangka Raya, Kamis.
“BPDPKS itu memungut PE CPO yang berasal dari sawit perusahaan dan petani rakyat. Artinya, petani juga punya kontribusi besar, sementara imbal balik ke petani sangat minim,” beber dia.
Selain minim timbal balik ke petani sawit, Pabrik Kelapa Sawit juga berkewajiban untuk memenuhi pasokan dalam negeri (DMO), serta kebijakan ketentuan harga dalam negeri (DPO) atas komoditi sawit dan turunannya sejak 27 Januari 2022.
Anggota DPRD Kalteng itu mengatakan, adanya kebijakan itu nantinya seluruh eksportir yang akan mengekspor, wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor masing–masing, termasuk akan ditetapkan pembatasan harga pasar domestik sebesar Rp9.300/kg CPO dan Rp10.300/liter untuk olein.
“Harga CPO di pasar domestik yang sebelumnya berkisar Rp15 ribu per kilogram, kini turun Rp9.300 per kilogram. Secara otomatis akan menekan harga TBS milik petani kelapa sawit berkisar antara Rp 350-1.000 per kilogram,” kata Fajar.
Menurut wakil rakyat Kalteng dari daerah pemilihan II meliputi Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan itu, dengan semakin tingginya Gap antara harga TBS dan harga CPO internasional, akan menguntungkan bagi pelaku usaha yang dapat menikmati.
Dia pun Ambil contoh, perusahaan terintegrasi yang memiliki PKS, secara otomatis dapat membeli TBS Petani dengan harga acuan dalam negeri, dan di jadikan setoran kewajiban 20 persen pasokan domestik. Kemudian, menjual CPO hasil kebun dan olahan perusahaan sendiri dengan harga tinggi di pasar internasional.
“Pertanyaannya, CPO yang untuk Domestik atau DMO minyak goreng ini hasil TBS dari perusahaan atau petani rakyat?. Di sini yang saya maksud bahwa kebijakan mengendalikan harga minyak goreng ini, belum menyentuh persoalan,” demikian Fajar.
(ant/red)